Hidup dalam khayalan,
hidup dalam kenyataan……
tak ada bedanya.
Kerna khayalan dinyatakan,
dan kenyataan dikhayalkan,
di dalam peradaban fatamorgana.
(penggalan dalam “sajak kenalan lamamu” WS Rendra)
Sedikit penggalan dari puisi ini cukup untuk meninggkatkan kepekaan
melihat kondisi yang terjadi saat ini. Banyak mereka yang dengan
sadarnya melakukan hal yang tak seharusnya dilakukan. Kesadaran ini
terus dipelihara sehingga menimbulkan paradigma bahwa semuanya dapat
diwujudkan bahkan khayalan sekalipun.
Paradigma yang terbentuk ini tentu saja mengandung makna tersirat
yaitu sesuatu yang nyata pun dapat dikhyalkan, artinya cukup untuk
dihiraukan bahkan tak dianggap sama sekali. Banyak mereka terjebak dalam
pola seperti ini, pola yang menjadikan diri tidak berkutik dibawah hal
yang menyebabkan proses keterbalikan antara khayalan dan kenyataan.
Sesuatu yang tidak ada, dirasa ada, inilah fatamorgana. Banyak contoh
yang menyatakan bahwa ini benar adanya, hak-hak yang seharusnya
diperoleh oleh rakyat miskin tidak diberikan. Ini adalah fatamorgana
bagi pemerintah. Tidak mengangap penting bahwasanya penyampaian hak
adalah suatu keharusan. Bukan hanya ini, diamnya kaum intelektual
melihat kondisi seperti ini juga bisa dikatakan fatamorgana bagi kaum
intelektual tersebut.
Hal ini tentunya tidak harus terus dipelihara karena memang tidak
layak untuk dipelihara, jika tetap dipelihara bisa bisa piaraan ini yang
akan menindas kesadaran bagi mereka yang memeliharanya.
Lantas apa yang diharuskan bagi mereka yang telah mengetahuinya?,
tidak lain adalah belajar untuk merubah paradigma ini, berjalan
sebagaimana fungsinya, dan yang jelas harus merubah pola ini. Untuk
merubah tentunya tidak gampang, harus tahu dulu apa yang menyebabkan
pola ini terbentuk.
Meninjau kembali kondisi ini merupakan salah satu cara untuk
menemukan akar dari ketidak jelasan ini, berangkat dari sini tentunya
sudah dapat dipastikan bahwa kekuasaan dan kekuatan yang dimilikilah
yang menyebabkan pola ini terbentuk lebih tepatnya mengacu pada
penguasaan diri.
Pengusaan diri tentu tidak akan pernah lepas dari penyadaran akan
fungsi itu sendiri, pemaknaan yang baik tentu akan mengantarkan pada
tindakan dan realisasi yang baik pula. Namun, untuk menumbuhkan dan
mengembalikan penyadaran perlu rasanya menambah wawasan dalam fungsi
tersebut.
Wawasan tak lepas dari pendidikan yang kita terima, baik formal
maupun informal yang akan berujung pada peningkatan kualitas, kualitas
yang harus diciptakan. Jika kulaitas ini sudah tercipta bagaimanapun
kondisinya pasti akan siap untuk diuji kelayakannya, sudah pasti tidak
akan keluar dari fungsinya.
Inilah sebuah solusi konkret untuk mengembalikan peradaban yang
semestinya keluar dari peradaban fatamorgana tadi. Pemerintah yang
berkualitas tentu tidak akan menindas rakyatnya, begitu juga kaum
intelektual, kesadaran dan kualitas intelektual akan mengantar sebagai
pembaharu dalam mengkritisi dan merubah segala bentuk ketidakbenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar