Sabtu, 14 Januari 2012

Peradaban Fatamorgana

Hidup dalam khayalan,
hidup dalam kenyataan……
tak ada bedanya.
Kerna khayalan dinyatakan,
dan kenyataan dikhayalkan,
di dalam peradaban fatamorgana.
(penggalan dalam “sajak kenalan lamamu” WS Rendra)

Sedikit penggalan dari puisi ini cukup untuk meninggkatkan kepekaan melihat kondisi yang terjadi saat ini. Banyak mereka yang dengan sadarnya melakukan hal yang tak seharusnya dilakukan. Kesadaran ini terus dipelihara sehingga menimbulkan paradigma bahwa semuanya dapat diwujudkan bahkan khayalan sekalipun.
Paradigma yang terbentuk ini tentu saja mengandung makna tersirat yaitu sesuatu yang nyata pun dapat dikhyalkan, artinya cukup untuk dihiraukan bahkan tak dianggap sama sekali. Banyak mereka terjebak dalam pola seperti ini, pola yang menjadikan diri tidak berkutik dibawah hal yang menyebabkan proses keterbalikan antara khayalan dan kenyataan.
Sesuatu yang tidak ada, dirasa ada, inilah fatamorgana. Banyak contoh yang menyatakan bahwa ini benar adanya, hak-hak yang seharusnya diperoleh oleh rakyat miskin tidak diberikan. Ini adalah fatamorgana bagi pemerintah. Tidak mengangap penting bahwasanya penyampaian hak adalah suatu keharusan. Bukan hanya ini, diamnya kaum intelektual melihat kondisi seperti ini juga bisa dikatakan fatamorgana bagi kaum intelektual tersebut.
Hal ini tentunya tidak harus terus dipelihara karena memang tidak layak untuk dipelihara, jika tetap dipelihara bisa bisa piaraan ini yang akan menindas kesadaran bagi mereka yang memeliharanya.
Lantas apa yang diharuskan bagi mereka yang telah mengetahuinya?, tidak lain adalah belajar untuk merubah paradigma ini, berjalan sebagaimana fungsinya, dan yang jelas harus merubah pola ini. Untuk merubah tentunya tidak gampang, harus tahu dulu apa yang menyebabkan pola ini terbentuk.
Meninjau kembali kondisi ini merupakan salah satu cara untuk menemukan akar dari ketidak jelasan ini, berangkat dari sini tentunya sudah dapat dipastikan bahwa kekuasaan dan kekuatan yang dimilikilah yang menyebabkan pola ini terbentuk lebih tepatnya mengacu pada penguasaan diri.
Pengusaan diri tentu tidak akan pernah lepas dari penyadaran akan fungsi itu sendiri, pemaknaan yang baik tentu akan mengantarkan pada tindakan dan realisasi yang baik pula. Namun, untuk menumbuhkan dan mengembalikan penyadaran perlu rasanya menambah wawasan dalam fungsi tersebut.
Wawasan tak lepas dari pendidikan yang kita terima, baik formal maupun informal yang akan berujung pada peningkatan kualitas, kualitas yang harus diciptakan. Jika kulaitas ini sudah tercipta bagaimanapun kondisinya pasti akan siap untuk diuji kelayakannya, sudah pasti tidak akan keluar dari fungsinya.
Inilah sebuah solusi konkret untuk mengembalikan peradaban yang semestinya keluar dari peradaban fatamorgana tadi. Pemerintah yang berkualitas tentu tidak akan menindas rakyatnya, begitu juga kaum intelektual, kesadaran dan kualitas intelektual akan mengantar sebagai pembaharu dalam mengkritisi dan merubah segala bentuk ketidakbenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar